Tak Pantas, Tak Layak

 Allah lebih tahu kondisi diri kita sebenarnya. Allah lebih tahu isi hati kita. Allah lebih tahu aib-aib kita. Allah lebih tahu. Kenapa? Karena Allah.. Maha Mengetahui.. baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

***

Dengung pujian itu masih terngiang. Gempita sorak sorai pun masih terbayang. Tapi tidak, semua itu tidak membuai.  Hal itu justru membuat dada ini panas. Aku merasakan energi itu menyeruak dari dalam. Kuat. Betul-betul kuat. Aku merasa tak pantas sama sekali.

Ini bukan soal krisis percaya diri. Juga bukan soal tidak bersyukur. Ini soal introspeksi diri.

Di tengah buaian dunia yang mengangkat diri kita seakan lebih dari yang lainnya, bercerminlah. Tapi jangan di air keruh. Sebab bercermin di air keruh hanya akan membuat kita serba merasa. Merasa baik, merasa oke, merasa hebat, dan lain sebagainya. Padahal di dalam kata ‘merasa’ ada kata ‘rasa’, dimana rasa.. seringkali tidaklah nyata.

Bercerminlah di atas kristal, sehingga cacat terkecil diri pun tampak. Jangan lupa lepaskan pula segala atribut dunia, agar pantulan bayangannya murni. Telaah perlahan, perlahan.. apa yang terlihat? Ternyata.. hanya pantulan bayangan seorang manusia penuh dosa, yang telah ditutupi segala aib-aibnya.

Dada ini kembali bergemuruh atas dentuman puji dan sanjung. Air mata tak tertahan. Bagaimana bisa seorang manusia yang banyak cacatnya ini secara tersirat dijadikan tauladan. Punya apa? Bisa apa? Kekeliruannya mungkin karena sering terlupa mengingatkan bahwa segala yang baik datangnya dari Allah. Sedangkan diri ini hanyalah jalan lewatnya saja. Ya, hanya itu. Bahkan mengakui sebagai jalan lewat saja rasanya berat. Memang siapa diri ini hingga dipercaya menjadi washilah kebaikan.

Ah, ya Allah.. akhir-akhir ini aku merasa tak pantas, tak layak. Dan perasaan itu terus berlipat setiap usai mengemban amanah menyampaikan ilmu-Mu. Entahlah ya Allah.. aku merasa tak pantas. Aku merasa banyak cacatnya. Terlebih lagi.. aku merasa ada banyaaak sekali hal yang aku belum teruji atasnya. Setiap yang tersampaikan, ia seperti tombak bermata dua bagiku. Ia menghujam siapapun yang mendengarnya, tapi juga menghujam yang menyampaikan. Andaikata tombak itu nyata, mungkin pakaianku kini sudah compang camping. Mungkin aku sudah tercabik-cabik, dengan darah segar mengalir di sekujur tubuh.

Aku perlu menyalurkan kemarahan, tapi tidak melalui lisan. Aku butuh menulis. Menulis terbukti selalu membantuku mengalirkan emosi yang sedang meledak-ledak. Ya setidaknya selama ini demikian. Semoga Engkau meridhoi tulisan ini sebagai media penghantar kelegaan.

Aku paham ya Allah.. ini antara aku dan Engkau. Tidak dengan selain itu. Manusia atau keadaan di luar diri tidak dapat dijadikan kambing hitam. Meski tampak lebih mudah menggunakan kedua hal itu untuk mengalihkan sumber kesalahan, tapi nyatanya hal itu keliru.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” QS. An Nisa (4): 79

Ayat tersebut sederhananya menjelaskan bahwa apabila ada yang baik-baik menghampiri kehidupan, itu datangnya dari Allah. Dan apabila buruk, maka datangnya dari diri sendiri. Nikmat sadar telah menggiring pemahaman bahwa hati adalah alarm. Ia akan berbunyi ketika terjadi suatu kekeliruan. Dan kekeliruan yang paling jelas adalah ketika raga berbuat sesuatu yang tak sesuai fitrah, baik sadar ataupun tidak. Maka jangan heran bila diri merasa baik-baik saja, tapi hati begitu sensitif hingga mudah gelisah. Itulah indikator alarm hati sedang berbunyi. Bunyinya adalah kegelisahan. Jika sudah begitu, pasti ada yang salah. Pasti.

Maka adalah keliru jika gelisah kemudian menyalahkan hal lain, tapi tidak introspeksi diri. Sebab sumber masalah sebenarnya pastilah diri sendiri. Adapun orang lain terkesan menjadi penyebabnya, ketahuilah.. orang-orang itu hanya dipinjam oleh-Nya untuk menggiring kesadaran kita. Seandainya pun tidak melalui orang yang itu, pasti melalui orang yang lain. Karena jika Allah sudah berkehendak, adalah hak-Nya untuk menggunakan manusia dan keadaan mana saja demi menyadarkan kita. Inilah bukti kasih sayang-Nya yang seringkali tak bisa kita pahami pada awalnya.

Dentuman resah ini betul-betul membuncah. Aku sadar ada yang salah. Tapi bukan sebab tergilas euforia dunia, melainkan sebab merasa belum banyak membuktikan yang dikatakan. Aku merasa belum teruji. Aku merasa banyak tergagap dalam beramal. Maka inilah sebab energi panas itu seringkali menyeruak dari dalam diri. Ternyata pemicunya adalah rasa malu. Malu mendapat puji atas segala yang belum teruji. Tak pantas, tak layak.

***

Kita adalah seorang hamba Allah. Hamba yang tidak mampu apabila tidak dimampukan. Hamba yang tidak kuat apabila tidak dikuatkan. Kita sejatinya hanya lah seonggok daging berbalut kulit yang kemana-mana membawa kotoran. Tak pantas berbangga, tak layak dipuja. Cukuplah Allah saja.

Dosa-dosa tersembunyi. Aib-aib ditutupi. Segala cacat pun dipoles dengan begitu indahnya hingga tak tampak lagi. Allah Maha Baik. Menyadari ini membuatku tersungkur lemah tanpa daya. Apa yang benar-benar sudah kulakukan hanya untuk-Nya? Padahal nyawaku dari-Nya, jasadku dari-Nya, hidupku dari-Nya, dan kelak aku pun akan kembali pada-Nya.

Frasa bahwa dunia melalaikan sedang tidak berlaku bagiku. Aku sedang tidak terbuai. Aku sedang banyak resah atas hal-hal baik yang orang banyak nilai tentangku, sedangkan aku merasa tak begitu. Prasangka indah yang seharusnya membuat terlena itu justru menamparku. Betapa Maha Besarnya Allah subhanahu wata’alla meninggikan derajat seorang manusia yang hina ini. Padahal nyatanya.. aku masih berjalan tertatih-tatih, ah bukan.. bahkan terseok-seok menggapai ridho-Nya.

Pemahamanku belum seberapa, apalagi pengamalannya. Aku bukanlah siapa-siapa, juga bukan apa-apa. Bukan karena tidak percaya diri, melainkan hasil introspeksi diri. Aku benar-benar sesak mendengar riuh pengakuan itu. Terimakasih, tapi jika itu menyentuh hati dan mengubah kehidupan siapapun menjadi dekat dengan-Nya.. sungguh itu murni hanya karena Dia memang menginginkan mereka kembali. Bukan karena jalan lewatnya atau perantaranya pandai menyampaikan. Sungguh bukan.

Ketahuilah.. kelak akhirat kan menjadi tempat penuh kejutan. Amal-amal yang dibanggakan ternyata hanya bagaikan debu yang berterbangan. Kemampuan yang disombongkan ternyata menikam dari belakang. Maka tiada hal yang patut dikhawatirkan selain dari rasa-rasa keakuan. Lahaulla walla quwwata illa billah..

Tapi ya Allah.. aku bersyukur atas keresahan ini, sebagai bukti hatiku belum mati. Setidaknya perasaan ini jauh lebih baik, karena mampu membuat siapapun dengan senang hati berlemah-lemah di hadapan-Mu.

Dan pengakuan tak pantas, juga  tak layak yang kuungkapkan ini adalah benar. Sungguh, Allah lebih tahu.

Belum ada Komentar untuk "Tak Pantas, Tak Layak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel